Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya "korupsi" lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit "Virus Korupsi" yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara "konkesuen" alias "kelamaan".
Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.
Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.
Pelajaran apa yang bisa ditarik dari uraian ini? Ternyata upaya untuk memberantas korupsi tidak semudah memba-likkan tangan. Korupsi bukan hanya menghambat proses pembangunan negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan rakyat. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintahan rnenjadi faktor penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari rakyat. (amanahonline)
Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum oleh Presiden SBY merupakan langkah berani dan sekaligus menyiratkan pengakuan keberadaan organisasi mafia hukum dalam praktik sistem peradilan pidana selama 65 tahun kemerdekaan Indonesia.
Mafia hukum di Indonesia identik dengan the web of the underworld government yang memiliki kekuatan destruktif terhadap ketahanan negara dan kewibawaan pemerintah, termasuk lembaga penegak hukumnya. Pertaruhan nasionalisme dan keteguhan dalam pemberantasan mafia hukum sedang dalam ujian di mata masyarakat dalam negeri dan luar negeri. Namun, pembentukan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum bukanlah solusi yang tepat untuk mencegah dan mengatasi keberadaan mafia hukum.Yang tepat seharusnya memperkuat keberadaan KPK serta koordinasi dan sinkronisasi antara KPK,Polri,dan Kejaksaan.
Status hukum Satgas dan lembaga penegak hukum yang ada tidak sepadan sehingga tampak keberadaan satgas berada “di luar” sistem peradilan pidana. Misi Presiden untuk memberantas mafia sulit dapat dijalankan dengan status hukum Satgas seperti itu. Selain itu, Instruksi Presiden tentang target pencapaian dan indikator keberhasilan pemberantasan korupsi oleh Polri dan kejaksaan kurang tepat. Karena target pencapaian dan indikator keberhasilan tersebut sejatinya merupakan salah satu indikator penyediaan anggaran operasional kepolisian dan kejaksaan. Namun, dalam praktik, parameter (tolok ukur) keberhasilan tersebut dijadikan alasan Polri dan kejaksaan untuk tujuan pencapaian kuantitas daripada pencapaian kualitas penanganan perkara korupsi.Tujuan pencapaian terakhir conditio sine qua non dari tujuan pencapaian kuantitas.
ARAH
Saat ini, arah, tujuan dan misi penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi tidak jelas lagi. Hanya pertimbangan dua tujuan yang tidak seimbang juga karena pengembalian kerugian (keuangan) negara tidak berhasil secara signifikan dibandingkan dengan anggaran APBN yang telah dikeluarkan untuk ketiga lembaga penegak hukum tersebut. Di sisi lain,tujuan penghukuman untuk menjerakan pelaku juga tidak maksimal dicapai karena selain diskresi perlakuan yang diperbolehkan Undang-Undang Pemasyarakatan, juga diskresi menurut KUHAP sejak penyidikan sampai penuntutan. Ini berekses diskriminatif terutama bagi pelaku yang tidak memiliki kekuatan politik dan kekuatan uang.
Contoh, pemberian remisi dan bebas bersyarat; SP 3 dan SKPP. Perbedaan perlakuan tersebut telah berdampak negatif terhadap masalah perlindungan hukum dan kepastian hukum baik untuk kepentingan negara maupun untuk kepentingan mereka yang disebut “koruptor”. Wacana kebencian terhadap koruptor akhir-akhir ini telah menyimpang jauh dari norma-norma internasional yang diakui dalam pemberantasan korupsi seperti Konvensi PBB Anti-Korupsi Tahun 2003 karena konvensi tersebut tidak menghubungkan pemberantasan korupsi dengan agama.Wacana tidak menyalatkan jenazah koruptor merupakan contoh daripada hal tersebut dan tidak pernah muncul di negara-negara Islam sekalipun.
Kekeliruan pandangan mengenai kepantasan hukuman mati bagi koruptor terletak bukan hanya karena hak hidup manusia adalah milik Allah SWT,melainkan bagaimana hak hidup seseorang dicabut di dalam praktik penegakan hukum yang kini terjadi secara koruptif. Dalam kondisi ini,perlu diingat pendapat para ahli hukum pidana negara maju, ”Lebih baik melepaskan 100 orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.”Kebenaran materiil dalam praktik koruptif penegakan hukum sangat tergantung dari pemilik kekuasaan belaka, bukan pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku dan berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.
DISORIENTASI
Saat ini praktik penegakan hukum sedang mengalami disorientasi kinerja dari amanah yang diperintahkan di dalam UUD 1945 dan perubahannya. Disorientasi pertama, polisi, jaksa dan hakim saat ini tampak kehilangan jati diri karena keberadaan lembaga pengawas eksternal seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian. Selain belum efektif juga tampak ada keinginan kuat untuk memasuki terlalu jauh pekerjaan lembaga penegak hukum tersebut yang bertentangan dengan UU.
Kekuatan kritik sosial dan pers bebas sering menimbulkan kegamangan penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya secara benar menurut UU yang berlaku. Disorientasi kedua, tidak jelas lagi batas-batas sistem pengendalian internal dan eksternal dalam penegakan hukum. Yang terjadi “kontrol internal” dilakukan oleh masyarakat sipil, seharusnya oleh lembaga pengawas internal (irjen dll); dan “kontrol eksternal” dilakukan oleh “orang dalam” lembaga penegak hukum itu sendiri.Di sini tidak jelas lagi siapa mengawasi siapa.
Lebih tidak jelas lagi kepada siapa semua fungsi kontrol tersebut harus dipertanggungjawabkan, kepada DPR RI sebagai lembaga pengawas kinerja pemerintah (eksekutif) atau kepada rakyat Indonesia, atau masyarakat sipil di mana saja dan kapan saja dikehendaki rakyat Indonesia itu atau hanya kepada seorang presiden saja. Disorientasi ketiga,kepakaran yang “dimonopoli” oleh kalangan akademisi dalam menyikapi masalah penegakan hukum.Yang terjadi saat ini telah tumbuh berkembang, tidak jelas lagi bedanya antara seorang “pekerja intelek” dan seorang “intelektual”.
Hal ini sebagaimana pernah dilontarkan oleh Widjojo Nitisastro yang mengutip pendapat Baran. Widjojo menerangkan bahwa, seorang “pekerja intelek”,dia cuma “jual otaknya” dan tidak peduli untuk apa hasil otaknya itu dipakai”; sebaliknya, seorang “intelektual” mempunyai sikap jiwa yang berlainan: pada asasnya seorang intelektual adalah seorang pengkritik masyarakat... dia menjadi “hati nurani masyarakat” dan juru bicara kekuatan progresif; mau tidak mau dia dianggap “pengacau”dan menjengkelkan oleh kelas yang berkuasa yang mencoba mempertahankan yang ada.Pernyataan Widjojo cocok di era Reformasi saat ini. Disorientasi keempat, penegakan hukum saat ini khususnya yang berkaitan dengan pelaku ekonomi tidak mendukung/memperkuat sistem ekonomi nasional melainkan bahkan “meruntuhkan” efisiensi dan efektivitas serta produktivitas para pelaku ekonomi.
Bahkan menjauhkan investasi domestik dan asing untuk memperkuat ekonomi nasional.Ada banyak sebab dan di antaranya adalah ekses negatif “pemerasan”dan “pemaksaan”yang mendatangkan keuntungan finansial oleh oknum penegak hukum lebih besar ketimbang proses peradilan yang berjalan jujur,adil dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Penyebab yang pasti dari kondisi ini adalah ideologi globalisasi telah mendorong kehidupan bangsa yang bersifat hedonistis mempertuhankan kebendaan belaka; jauh dari kesejahteraan batiniah bagi masyarakatnya.Pola kehidupan sosial budaya dan ekonomi sesaat telah “menjerumuskan” anak bangsa ini ke dalam kehidupan yang digambarkan oleh Hobbes, “manusia itu seperti serigala terhadap sesamanya” (homo homini lupus bellum omnium contra omnes).
Pernyataan Hobbes ini kini berlaku dalam praktik penegakan hukum. Disorientasi kelima, terdapat kekeliruan mendasar mengenai hukuman yang dipandang sebagai satu-satunya alat untuk penjeraan dan pertobatan bahkan jika perlu hukuman mati. Tujuan pembentukan hukum dan penegakan hukum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, tidak mendahulukan tujuan balas dendam melainkan mendahulukan tujuan perkuatan pembangunan ekonomi nasional. RPJM tersebut juga tidak terkandung maksud menciptakan golongan baru, “koruptor”, dalam masyarakat Indonesia.
Satu-satunya kekuasaan yang sah menjatuhkan hukuman adalah pengadilan. Menjalani hukuman dalam penjara adalah wahana penebusan dosa. Seketika yang bersangkutan selesai menjalani hukumannya, seharusnya dosa-dosanya terampuni .Tidak ada hak negara atau siapa pun untuk “memperpanjang” penderitaan seseorang melebihi batas hukuman yang telah dijatuhkan oleh putusan pengadilan.
Kezaliman dalam penegakan hukum harus segera dihentikan oleh siapa pun terhadap siapa pun di negeri tercinta ini jika berniat menjadi bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa,memelihara dan mempertahankan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Intinya untuk memberantas KKN itu harus tegas , jujur dan adil !
berantas dari akar sampai keatas !
Semoga suatu saat nanti & semoga secepatnya bangsa ini bisa bersih dari KKN sehingga rakyat makmur sentosa...amin...
Saya mendapatkan referensi atau ide dari
Prof Romli Atmasasmita
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) dan
Oleh Amin Rahayu, SS
Analis informasi llmiah pada Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah - LIPI, Pengajar llmu Sejarah, Sosiologi dan Tata Negara.